Translate

Saturday, August 25, 2012

Alas Purwo, banyuwangi


•March 22, 2011 • Leave a Comment
design by dedy pika
Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa. Tumbuhan khas dan endemik pada taman nasional ini yaitu sawo kecik (Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Tumbuhan lainnya adalah ketapang (Terminalia cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), kepuh (Sterculia foetida), keben (Barringtonia asiatica), dan 13 jenis bambu.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan habitat dari beberapa satwa liar seperti lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus), banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), burung merak (Pavo muticus), ayam hutan (Gallus gallus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus melas), dan kucing bakau (Prionailurus bengalensis javanensis). Satwa langka dan dilindungi seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas) biasanya sering mendarat di pantai Selatan taman nasional ini pada bulan Januari s/d September.

Pada periode bulan Oktober-Desember di Segoro Anakan dapat dilihat sekitar 16 jenis burung migran dari Australia diantaranya cekakak suci (Halcyon chloris/ Todirhampus sanctus), burung kirik-kirik laut (Merops philippinus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan trinil semak (Tringa glareola).Plengkung yang berada di sebelah Selatan Taman Nasional Alas Purwo telah dikenal oleh para perselancar tingkat dunia dengan sebutan G-Land. Sebutan G-land dapat diartikan, karena letak olahraga selancar air tersebut berada di Teluk Grajagan yang menyerupai huruf G. Ataupun letak Plengkung berada tidak jauh dari hamparan hutan hujan tropis yang terlihat selalu hijau (green-land). Plengkung termasuk empat lokasi terbaik di dunia untuk kegiatan berselancar dan dapat disejajarkan dengan lokasi surfing di Hawai, Australia, dan Afrika Selatan. Menyelusuri pantai pasir putih dari Trianggulasi ke Plengkung akan menemukan daerah pasir gotri. Pasir tersebut bewarna kuning, berbentuk bulat dan berdiameter sekitar 2,5 mm.
Anak Lutung (Trachypithecus auratus)
Masyarakat sekitar taman nasional sarat dan kental dengan warna budaya “Blambangan”. Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram, dan meyakini bahwa di hutan taman nasional masih tersimpan Keris Pusaka Sumelang Gandring.Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila banyak orang-orang yang melakukan semedhi maupun mengadakan upacara religius di Goa Padepokan dan Goa Istana. Di sekitar pintu masuk taman nasional (Rowobendo) terdapat peninggalan sejarah berupa “Pura Agung” yang menjadi tempat upacara umat Hindu yaitu Pagerwesi. Upacara tersebut diadakan setiap jangka waktu 210 hari. Taman nasional ini memiliki ragam obyek dan daya tarik wisata alam dan wisata budaya (sea, sand, sun, forest, wild animal, sport and culture) yang letaknya tidak begitu jauh satu sama lain.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Sadengan.
Terletak 12 km (30 menit) dari pintu masuk Pasaranyar, merupakan padang pengembalaan satwa seperti banteng, kijang, rusa, kancil, babi hutan dan burung-burung.
Trianggulasi.
Terletak 13 km dari pintu masuk Pasaranyar berupa pantai pasir putih dengan formasi hutan pantai untuk kegiatan wisata bahari dan berkemah.
Pantai Ngagelan.
Terletak 7 km dari Trianggulasi untuk melihat beberapa jenis penyu mendarat untuk bertelur di pantai dan aktivitas penangkaran penyu.
Plengkung.
Melihat perselancar profesional tingkat dunia yang sedang melakukan atraksi dan wisata penelusuran hutan.
Bedul Segoro Anak.
Bersampan, berenang, ski air di danau dan pengamatan burung migran dari Australia.
Goa.
Terdapat 40 buah tempat yang dapat disebut sebagai goa alam dan buatan antara lain Goa Jepang untuk melihat peninggalan dua buah meriam sepanjang 6 meter, Goa Istana, Goa Padepokan dan goa lainnya untuk wisata budaya dan wisata goa.
Cara pencapaian lokasi :
Banyuwangi-Pasaranyar 65 km, dan Pasaranyar-Trianggulasi 12 km menggunakan mobil. Trianggulasi-Plengkung, menyelusuri pantai sepanjang 10 km. Lokasi lainnya seperti Danau Segara Anak, Sadengan, Rowobendo dapat ditempuh berjalan kaki dari Trianggulasi.
banteng (Bos sondaicus)
Kantor: Jl. Achmad Yani 108 Banyuwangi 68416, Jawa Timur
Telp. : (0333) 410857; Fax. : (0333) 428675
E-mail: alaspurwo@telkom.net
Dinyatakan —-
Ditunjuk Menteri Kehutanan, SK No. 283/Kpts-II/92,
seluas 43.420 hektar
Ditetapkan —-
Letak Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur

Temperatur udara 27° – 30° C
Curah hujan 1.000 – 1.500 mm/tahun
Ketinggian tempat 0 – 322 meter dpl
Letak geografis 8°25’ – 8°47’ LS, 114°20’ – 114°36’ BT

Sumber : http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_alaspurwo.htm

Pelengkung, Pantai Ganas yang Terpencil

•March 22, 2011 • Leave a Comment
Untuk Anda penggemar olahraga surfing yang menginginkan sebuah pengalaman yang menguras adrenalin, bersiaplah untuk berkunjung ke sebuah pantai di Jawa Timur.
Sejenak lupakan tentang Bali, sesaat lupakan ombak menawan di Kuta yang penuh sesak dengan para surfer lokal maupun asing. Bersiaplah untuk menjajal Pantai Pelengkung, Banyuwangi, Jawa Timur.
Kawasan yang dikenal dengan nama G-Land ini mungkin tak seindah pantai-pantai di Bali, namun jika Anda memimpikan ombak yang besar dan ganas, maka ini adalah pilihan tepat untuk dimasukkan dalam daftar tujuan liburan Anda.
Pantai Plengkung terletak 87km dari Banyuwangi, untuk mencapainya pun tak terlalu sulit. Dari Banyuwangi, anda dapat menggunakan kendaraanbermotor menuju ke desa Trianggulasi dengan waktu tempuh 2,5 jam.
Setelah itu, persiapkan kaki anda untuk menempuh perjalanan sejauh 12km (4 jamperjalanan), mengingat kendaraan bermotor tak diijinkan untuk melewatidaerah ini demi menjaga kealamiannya.

Bagi yang ingin sampai ke Plengkung tanpa bersusah payah, Anda dapat menggunakan speed boat dari Kota Grajakan atau dari Benoa Denpasar. Jarak tempuh sangat tergantung pada faktor alam, yaitu cuaca dan ombak.
Trio Ganas
Ombak di pantai ini konon hampir setara dengan tiga pantai terbaik di dunia, yang memiliki ombak panjang, tinggi, besar dan keras, yaitu Oahu (Hawaii), Fiji, dan Tahiti. Ketiganya berada di Samudra Pasifik.
surfing in Pelengkung
Panjang ombak G-Land bisa mencapai 2km dan tingginya bisa mencapai 6m. Begitu kerasnya, tak jarang mampu mematahkan papan selancar yang dipakai para peselancar.
Para peselancar papan atas dunia pun pernah mencoba keganasan ombaknya dalam event Quicksilver Pro yang berturut-turut digelar pada 1995-1997. Sayang krisis ekonomi dan kerusuhan yang melanda negeri ini membuat event tersebut dipindah ke negara lain.
Fasilitas
Meski terkesan terisolir, karena dibutuhkan perjuangan untuk mencapainya, pantai Plengkung tetap memiliki fasilitas untuk menjamu para tamunya. Namun bagi anda yang membayangkan akan menemui hotel berbintang di sini, bersiaplah untuk kecewa.
Karena yang ada hanyalahpenginapan atau lebih tepat disebut camp. Tak ada listrik, yang adahanyalah diesel, tak ada siaran TV, yang ada TV yang tak henti-hentinyamenayangkan rekaman video bertema selancar.
Namun untuk makanan dan minuman, Anda boleh tersenyum. Karena para pengelola camp ini tetap menyediakan makanan dan minuman sekelas hotel mewah. Meski terbilang ‘minim’ fasilitas, namun untuk menginap disana, Anda harus merogoh kocek Rp385.000-550.000 permalam, sudah termasuk kaos, ongkos spead boat, makanan dan minuman serta kipas angin (maklum tak ada AC).
Pantai Tetangga
Selain Plengkung, Anda juga bisa mengunjungi pantai ‘tetangganya’ yaitu Pantai Pancur yang terletak 8km sebelah utara G-Land. Disebut Pancur karena disini terdapat sebuah sungai yang mengalir sepanjang tahun menuju pantai yang terjal sehingga membentuk pancuran.
Takjauh dari sana, terdapat Pantai Trianggulasi yang menyajikan pantaiberpasir putih. Konon pemandangan matahari tenggelam didaerah ini takkalah dengan sunset di Tanah Lot. Anda bisa juga berkunjung ke Pantai Ngagelan yang terletak 5km sebelah barat. Ini adalah pantaitempat pendaratan penyu yang akan bertelur. Jangan lewatkan untukmampir ke Segoro Anak, Pantai Parang Ireng dan Pantai Batu Lawang.Dijamin, anda akan tergugah untuk kembali berlibur kesana. Tunggu apalagi, kemasi barang-barang Anda dan nikmati liburan di Semenanjung
Blambangan.

Sumber : http://wisataqta.blogspot.com/2008/09/pelengkung-pantai-ganas-yang-terpencil.html

Taman Nasional Alas Purwo

•March 22, 2011 • Leave a Comment


Keadaan fisik

TN Alas Purwo dengan luas 43.420 ha terdiri dari beberapa zonasi, yaitu :
  • Zona Inti (Sanctuary zone) seluas 17.200 Ha
  • Zona Rimba (Wilderness zone) seluas 24.767 Ha
  • Zona Pemanfaatan (Intensive use zone) seluas 250 Ha
  • Zona Penyangga (Buffer zone) seluas 1.203 Ha.
Rata – rata curah hujan 1000 – 1500 mm per tahun dengan temperature 22°-31° C, dan kelembaban udara 40-85 %. Wilayah TN Alas Purwo sebelah Barat menerima curah hujan lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah sebelah Timur. Dalam keadaan biasa, musim di TN Alas Purwo pada bulan April sampai Oktober adalah musim kemarau dan bulan Oktober sampai April adalah musim hujan.
Secara umum kawasan TN Alas Purwo mempunyai topografi datar, bergelombang ringan sampai barat dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis (322 mdpl).
Keadaan tanah hamper keseluruhan merupakan jenis tanah liat berpasir dan sebagian kecil berupa tanah lempung. Sungai di kawasan TN Alas Purwo umumnya dangkal dan pendek. Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya terdapat di bagian Barat TN yaitu Sungai Segoro Anak dan Sunglon Ombo. Mata air banyak terdapat di daerah Gunung Kuncur, Gunung Kunci, Goa Basori, dan Sendang Srengenge.

Keadaan biologi

Secara umum tipe hutan di kawasan TN Alas Purwo merupakan hutan hujan dataran rendah. Hutan bambu merupakan formasi yang dominan, ± 40 % dari total luas hutan yang ada. Sampai saat ini telah tercatat sedikitnya 584 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana, dan pohon.
Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di TN Alas Purwo dapat di kelompokkan menjadi hutan bambu, hutan pantai, hutan bakau/mangrove, hutan tanaman, hutan alam, dan padang penggembalaan (Feeding Ground).
Keanekaragaman jenis fauna di kawasan TN Alas Purwo secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 kelas yaitu Mamalia, Aves, Pisces dan Reptilia. Mamalia yang tercatat sebanyak 31 jenis, diantaranya yaitu : Banteng (Bos javanicus), Rusa (Cervus timorensis), Ajag (Cuon alpinus), Babi Hutan (Sus scrofa), Kijang (Muntiacus muntjak), Macan Tutul (Panthera pardus), Lutung (Trachypithecus auratus), Kera Abu-abu (Macaca fascicularis), dan Biawak (Varanus salvator).
Burung yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 236 jenis terdiri dari burung darat dan burung air, beberapa jenis diantaranya merupakan burung migran yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 39 jenis. Jenis burung yang mudah dilihat antara lain : Ayam Hutan (Gallus gallus), Kangkareng (Antracoceros coronatus), Rangkok (Buceros undulatus), Merak (Pavo muticus) dan Cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). Sedangkan untuk reptil telah teridentifikasi sebanyak 20 jenis.

Sosial ekonomi dan budaya

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan adalah bertani, buruh tani, dan nelayan. Masyarakat nelayan kebanyakan tinggal di wilayah Muncar, yang merupakan salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa, dan di wilayah Grajagan. Mayoritas penduduk di sekitar kawasan memeluk agama Islam, namun banyak pula yang beragama Hindu terutama di Desa Kedungasri dan Desa Kalipait. Secara umum masyarakat sekitar TN Alas Purwo digolongkan sebagai masyarakat Jawa Tradisional.

Miisteri

Bertapa, semedi, sayan (gotong-royong sewaktu mendirikan rumah), bayenan serta selamatan – selamatan lain yang berkaitan dengan pencarian ketenangan bathin masih dilaksanakan. Pada hari – hari tertentu seperti 1 suro, bulan purnama, bulan mati, masyarakat datang ke kawasan TN Alas Purwountuk bersemedi.

Pura Giri Selaka, Alas Purwo, Banyuwangi

•March 22, 2011 • Leave a Comment


Pura Giri Selaka, Alas Purwo, Banyuwangi
Ingin Jadi Sumbu Kebangkitan Majapahit
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh abad ke-14, para manggala kerajaan berucap, ”Boleh saja kerajaan mereka dihancurkan, tetapi tunggu lima ratus tahun lagi anak cucu mereka akan bangkit dan menagih kembali bekas wilayah Majapahit.
” Itulah yang diyakini sebagian besar umat Hindu Banyuwangi, sehingga kini ada kebanggaan bagi mereka untuk kembali ke agama Hindu. Semangat itulah yang menyertai pelaksanaan piodalan di Pura Giri Selaka, Alas Purwo, pada hari Pagerwesi, Rabu (11/9) lalu. Bagaimana kondisi umat Hindu di sekitar Ala Purwo saat ini? Masalah apa yang dihadapi umat Hindu di sana untuk kembali kepada jati diri sebagai Hindu?

Mendengar nama Alas Purwo, imajinasi orang pasti akan tertuju pada sebuah kawasan hutan lebat. Hal itu memang benar, Alas Purwo adalah sebuah kawasan hutan Taman Nasional di bawah lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Lantas apa hubungannya antara Pura Giri Selaka dan Alas Purwo itu?
Itulah fenomena yang tampaknya mengiringi keberadaan hampir semua pura bersejarah, tidak saja di Bali namun juga di Jawa. Untuk menuju Pura Alas Purwo yang disungsung umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi, para pemedek mesti memasuki kawasan hutan Taman Nasional Alas Purwo. Dari pintu depan kawasan hutan Taman Nasional, diperlukan waktu satu jam menuju Pura Giri Selaka dengan kondisi jalan yang belum beraspal.
Di kanan-kiri kita hanya berjejer hutan jati, dan jumlah masyarakat yang lewat pun bisa dihitung dengan jari. Bagi pemedek yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, masyarakat sekitar menyiapkan sebuah angkutan tradisional yang lazim disebut grandong. Angkutan ini mirip sebuah mobil truk, akan tetapi mesinnya menggunakan mesin genset. Harga sewanya menuju Pura Giri Selaka sekitar Rp 2.500 per sekali angkut.
Untuk menemukan Pura Giri Selaka, memang harus siap banyak bertanya kepada masyarakat di sepanjang perjalanan. Jika tidak, jangan harap perjalanan bisa lancar, apalagi baru sekali-dua kali ke tempat tujuan. Pasalnya, banyak cabang jalan yang tanpa pelang nama Alas Purwo, sehingga perjalanan dari Bali menuju Alas Purwo bisa kita tempuh 9-10 jam dengan kondisi seperti itu.
Pura Giri Selaka berada di tengah hutan dan sekitar tiga kilometernya adalah kawasan wisata pantai Plengkung, bibir Alas Purwo itu sendiri. Di kawasan ini, memang tidak ada satu pun rumah penduduk. Kalau mau bermalam, phhak pengelola Taman Wisata menyediakan sejumlah penginapan sederhana, jaraknya sekitar satu kilometer dari Pura Giri Selaka. Meski tersedia sejumlah penginapan, tampaknya para pemedek yang ingin tangkil ke Pura Giri Selaka lebih memilih makemit di areal pura. Apalagi, areal pura saat ini telah mencapai luas dua hektar hasil pemberian Menteri Kehutanan sebagai penanggung jawab Taman Nasional bersangkutan.
Menurut sesepuh umat Hindu Tegaldlimo, Pemangku Ali Wahono, sebetulnya Pura Giri Selaka ditemukan secara tidak sengaja oleh umat di sekitarnya pada tahun 1967. Saat itu, masyarakat Kecamatan Tegaldlimo melakukan perabasan terhadap sejumlah kawasan hutan Alas Purwo untuk bercocok tanam. Daerah di sekitar pura pun tampak cukup makmur dengan hasil palawijanya. Suatu ketika, di tempat berdirinya Pura Alas Purwo yang oleh masyarakat disebut Situs Alas Purwo, ada sebuah gundukan tanah.
Masyarakat ingin meratakan dan menjadikan lahan cocok tanam. Tanpa diduga, ada bungkahan-bungkahan bata besar yang masih tertumpuk. Persis seperti gapura kecil. Lantas masyarakat sekitarnya membawa bungkahan bata-bata itu ke rumahnya. Ada yang menjadikan bahan membuat tungku dapur, ada juga untuk membuat alas rumah. Rupanya, keluguan masyarakat itu telah menyebabkan munculnya musibah bagi warga yang mengambil bata-bata tersebut.
Selang beberapa saat setelah mengambil bata itu, semuanya jatuh sakit. Pada saat itulah, ada sabda agar bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempatnya semula. Bongkahan-bongkahan itu adalah tempat petapakan maharesi suci Hindu zaman dulu. Meski belum ada catatan resmi dalam prasasti, masyarakat mempercayai yang malinggih di situs Pura Alas Purwo adalah Empu Bharadah. Tetapi, ada juga yang menyebut Rsi Markandiya sebelum mereka menuju Bali. Selanjutnya, masyarakat setempat sangat yakin dengan kekuatan dan kesucian situs Alas Purwo tersebut. Sampai ada keinginan seorang warga untuk memagari situs itu agar aman dari jangkauan orang jahil. Akan tetapi, belum sampai tuntas mewujudkan keinginannya, warga tersebut keburu meninggal. Dari kejadian itu didapatkan sabda, kalau situs Alas Purwo itu wajib dipuja semua umat manusia di muka bumi ini tanpa dibatasi sekat-sekat golongan.
Kemudian ada upaya dari pihak Dinas Purbakala untuk menjadikan situs Alas Purwo sebagai benda peninggalan sejarah. Di sisi lain, umat Hindu yang mayoritas bertempat tinggal di sekitar Mariyan — nama kawasan yang telah dibabat hutannya itu — tetap meyakini kalau situs itu adalah milik nenek moyang Hindu zaman dulu. Untuk menghindari adanya kejadian yang tak diinginkan, umat Hindu akhirnya membuatkan sebuah pura, sekitar 65 meter dari situs Alas Purwo saat ini. Sementara situs itu sendiri dibiarkan seperti semula, namun tetap menjadi tempat pemujaan bagi semua umat manusia, tak terbatas hanya umat Hindu.
Bicara soal kesucian dan keajaiban situs Alas Purwo ini, memang berderet peristiwa menjadi pengalaman masyarakat penyungsung-nya. Itulah sebabnya, sejumlah pejabat maupun mantan pejabat terkenal pernah melakukan pemujaan di situs Alas Purwo ini. Tujuannya pun bermacam-macam. ”Hampir semua yang di-tunas, kesuecan Ida Batara yang malinggih di sini. Hanya, semua kembali kepada swakarma-nya,” ujar Mangku Adi, salah seorang pemangku setempat. Seiring dengan perjalanan waktu, pada tahun 1972 ada kebijakan Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk menagih kembali lahan hasil rabasan penduduk di kawasan Mariyan tersebut. Secara bertahap lahan dikembalikan menjadi hutan jati seperti sekarang ini, dan semua penduduk yang melakukan perabasan hutan itu kembali ke kampung masing-masing. Proses pengembaliannya ini selesai pada tahun 1975. Setelah itulah, situs Alas Purwo tinggal pada kesendiriannya, jauh dari rumah penduduk.
Meski demikian, Departemen Kehutanan memberikan kebebasan kepada mayarakat yang ingin melakukan persembahyangan atau pun meditasi di situs tersebut. Apalagi, umat Hindu yang kini telah kembali ”pulang” ke kawitan-nya setelah peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965 lalu. Mereka beranggapan sekaranglah kebangkitan Hindu itu akan terbukti, setelah 500 tahun runtuhnya Majapahit pada abad ke-14. Dan, itu salah satunya dimulai dari kerinduan umat Hindu Banyuwangi untuk menelesuri jejak nenek moyangnya. Diharapkan, dari situs Alas Purwo inilah bisa jadi sumbu penghubung Hindu tanah Jawa kelak. * Agus Astapa

Perjalanan ke Alas Purwo Banyuwangi

•March 22, 2011 • Leave a Comment
Ketika ada teman yang mengajak liburan ke Banyuwangi, aku mengiyakan saja. Kenapa tidak? Kalo gak salah sudah tiga tahun ini aku Nyepi di Bali. Terakhir aku keluar Bali pas Nyepi sekitar 2001 lalu. Waktu itu ke Lombok. Menikmati Senggigi, Kute, Narmada, Sesaot, Gili Meno, juga ayam bakar Taliwang. Hm, pedesnya siapa tahan..
So, Nyepi ini aku ikut saja ke Banyuwangi. Toh, biasanya juga hanya lewat. Itu juga kalo perjalananku ke Jawa lewat jalur selatan. Setiap tempat baru biasanya membuatku bersemangat. Mumpung liburan tiga hari. Jadi refreshing bentarlah.
Kamis sore kami sampai Ketapang. Wowok, temanku itu ngajak nginep di tempat om-nya. Jumat pagi kami baru dijemput Agung, teman kuliah yang sudah lulus. Sekarang dia kerja di Petrokimia Gresik untuk wilayah Banyuwangi. Nama tempat temenku tuh asik juga, Glenmore. Mirip2 bahasa Inggris atau Belanda. Kata Agung sih memang dari bahasa Belanda. Kurang lebih artinya dataran tinggi. Dulu banyak Londo tinggal di Glenmore untuk ngurus kebun. Daerah ini memang banyak perkebunan sampai sekarang.
Jumat tidak terlalu menarik. Kecuali ketika Jumatan di salah satu masjid tapi yang khotbah hanya ngomong pake bahasa Arab. Padahal itu di kampung kecil. Aku gak yakin kalau yang jumatan pada ngerti bahasa Arab. Heran aja. Kenapa tidak pake bahasa yang bisa dimengerti jamaah-nya?
And, finally, Sabtu tiba. Ini waktunya jalan-jalan. Kami memilih ke Taman Nasional Alas Purwo. Beberapa kali niatku ke tempat ini selalu gagal. Terakhir kali Agustus lalu mau ikut rame-rame eh gagal juga. Dari teman yang sudah pernah berkunjung, tempat ini asik karena masih ada macan dan meraknya. Pantai G-Land bahkan dikenal sebagai salah satu tempat surfing terbaik di dunia. Beberapa majalah surfing yang aku tau memang menyebut begitu.
Pukul 08.30 WIB kami mulai perjalanan. Empat orang naik Kijang. Satunya lagi Dika, adiknya Agung yang sudah pernah ke sana. Itung-itung jadi guide lokal lah. He.he.
Ternyata perjalanannya jauh juga. Dari Glenmore sampai pintu masuk pertama, Pasaranyar perlu waktu sekitar dua jam. Padahal lumayan ngebut. Di pintu masuk ini kami dapat informasi bahwa perjalanannya akan lebih susah. Masuk hutan. Jalan rusak. Banyak binatang liar. Sepi. Dan perlu waktu sekitar tiga jam lagi untuk sampai G-Land, pantai yang membuatku penasaran.
Well, bukankah niatnya memang jalan-jalan. Kami maju aja.
Ternyata benar. Setelah pos pertama, Pasaranyar, jalanan rusak parah. Dimana-mana berlubang. Kijangnya pun oleng. Hampir satu jam kami melewati jalan ini seperti melewati ombak di lautan. Ada satu dua kampung yang masih kami temui melewati jalan ini. Juga ada pencari kayu naik sepeda atau anak-anak bertelanjang dada. Di tengah perjalanan, tiga ekor merak berjalan melintas. Wow, merak memang indah. Apalagi diliat di habitat aslinya.
Pos kedua yang kami temui ada di Rowobendo. Di pos ini ditanya darimana mau apa dst. Ada informasi soal Taman Nasional Alas Purwo. Misalnya bahwa Alas Purwo adalah kawasan konservasi seluas 43.420 hektar. Dan di dalamnya ada harimau, merak, banteng, penyu, kijang, dll. Beberapa tempat di dalamnya adalah Pantai Plengkung (G-Land), Trianggulasi, Sadengan, Rowobendo, Ngagelan, Pancur, dan Gua Istana yang dipake orang untuk semedi.
Untuk masuk kami mesti bayar 2.500 per orang.
Setelah pos kedua ini, jalanan mulai bagus. Setidanya tidak rusak lagi. Jalanan berbatu. Suasana jauh lebih sepi. Kata petugasnya kalau jalan pelan bisa ketemu macan atau banteng. Sayangnya tidak satu pun kami temui. Dalam perjalanan kamu melihat Pura Alas Purwo. Umat Hindu Bali tidak sedikit yang sembahyang ke sini.
Sekitar setengah jam kami melewati jalan ini. Sepi banget. Kanan kiri kami hanya pepohonan. Ada perkutut, ketilang, atau burung lain dengan cuek di tengah jalan.
Pos terakhir adalah pos Pancur. Ada warung di tempat sini. Untuk ke G-Land, ternyata kami harus naik angkutan yang disediakan petugas. “Jalannya rusak. Kijang tidak mungkin bisa,” kata petugas itu. Biayanya Rp 100 ribu. Gila, mahal juga.. Maunya sih nawar. Tapi mentok. Daripada balik ya pilih bayar saja.
Perjalanan pun berganti dengan Landrover. Awalnya sih jalannya bagus. Eh, di tengah jalan ternyata memang parah. Kami melewati jalan rusak berlumpur. Landrover itu masuk ke lumpur yang dalamnya mungkin sampe semeter. Ban mobil seluruhnya masuk ke lumpur. Waah, ini perjalanan yang benar-benar gak kusangka. Jauh lebih mengasikkan ternyata.
Selama sejam, kami melewati jalanan yang hampir seluruhnya rusak gitu. Kadang turun untuk otak-atik mesin yang mati atau hanya poto2. Pukul 02.30 pm sampai juga di G-Land. Warga setempat menyebutnya Pantai Plengkung.
Hiks, ternyata pantainya gak sebagus yang ku kira. Pantai ini berkarang. Pasirnya sih putih. Tapi dikit banget. Tidak landai kaya Kuta, Sanur, atau Senggigi. Udah gitu kotor. But, ombaknya memang bagus untuk surfing. Tinggi dan panjang. Sayangnya lagi sepi. Jadi gak bisa ngliat orang surfing. Hanya ada tiga. Bule semua.
Ternyata perjalanan jauh lebih menyenangkan daripada tempat tujuannya.

Sumber http://rumahtulisan.wordpress.com/perjalanankealaspurwobanyuwangi.

Percintaan Luc dan Ellie di Alas Purwo

•March 22, 2011 • Leave a Comment


Apa jadinya jika cinta dua sejoli menyatu dengan cinta pada peri- kehidupan alam liar? Jawabnya: kenekatan pasangan Luc dan Ellie di pantai sunyi Plengkung, kawasan Taman Nasional Alas Purwo, yang terkenal angker itu. Kami mengenal keduanya saat mereka minta tumpangan pada Mazda double cabin yang kami gunakan, Minggu pukul 14.00 di pos penjagaan Pancur, Taman Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
”Saya sudah tidur di pinggir pantai dua hari. Kami bikin api dan masak mi. Kami mau coba ke Plengkung untuk surfing,” kata Luc (23), anak muda yang mengaku dari London dan baru saja menggelandang di Pulau Dewata selama sepekan bersama istrinya, Ellie, asal Afrika Selatan.
Alam asli, liar, tapi berbiaya murah; itulah obsesi dan cara pendekatan Luc dan Ellie van der Walt (21) akan ”dunia” mereka. Demi menghemat biaya pula, tiga hari sebelumnya sejoli itu memilih menyeberang dengan feri dari Gilimanuk, Bali, ke Ketapang, Banyuwangi.
Masalah sebenarnya sudah timbul menjelang masuk Hutan Purwo, saat kami melewati pos penjagaan pertama Rowobendo. Margo, penjaga tiket, bertanya, ”Mau berwisata atau mencari bahan berita, Mas. Kalau mencari bahan berita, tidak boleh. Kalau berwisata, boleh masuk.”
”Kami pilih berwisata saja, Mas Margo,” jawab kami buru-buru. ”Ya, silakan. Soalnya kalau mau meliput harus bawa simaksi, surat izin masuk kawasan konservasi,” kata Margo sopan sekali.
Kawasan Taman Nasional Alas Purwo meliputi luas areal sekitar 43.420 hektar (ha) dan hampir 40 persen merupakan hutan bambu. Tipe vegetasi utamanya hutan hujan tropis dataran rendah dan terdapat mamalia besar, banteng. Sedangkan mamalia kecil antara lain rusa, kijang, babi hutan, macan tutul, dan kera. Jenis burung yang sering dijumpai: ayam hutan, beo, kangkareng, jalak, puter, dan ketilang. Rombongan ekspedisi bahkan bersua dengan kijang, rombongan merak, lutung, monyet, serta puluhan rase.
Margo menerangkan, dari Pos Pancur—yaitu pos selanjutnya yang berjarak sekitar 8 kilometer—mobil dan motor tidak boleh masuk kecuali harus menyewa mobil pengelola kawasan itu, Rp 130.000 per mobil.
Masalah
Di Pancur, pos kedua, inilah Luc dan Ellie bergabung. Keduanya rela terguncang-guncang di bak belakang sampai di Plengkung, pantai yang melengkung, dan ternyata amat sangat populer bagi kalangan peselancar dunia dengan sebutan G-Land. Disebut G-Land karena pantainya melengkung mirip huruf G.
Konon di G-Land inilah gelombang besar terhimpun dan gelombang panjang bergulung bertalu-talu. Inilah satu dari empat tempat serupa di dunia yang masuk kategori ”impian” bagi peselancar sejagat. ”Memang, Pak, Plengkung ini sangat populer. Lihat saja di internet,” kata Nanang, petugas jaga Taman Nasional Alas Purwo di Pos Pancur.
Persoalan mendadak jadi kompleks. Bayangkan, tempat paling favorit bagi peselancar sejagat itu ternyata ada di dalam Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi. Istilah taman nasional bagi sebagian besar penduduk pedesaan adalah teror karena beberapa yang terjadi di Indonesia, begitu satu kawasan dinyatakan sebagai taman nasional, kawasan itu steril dari penduduk, aktivitas apa pun. Petani pencari rumput pun harus menyingkir dari sana.
Namun, di Alas Purwo, taman nasional itu ”menyewakan” kepada empat investor untuk membangun cottage atau resor, yaitu Plengkung Indah Wisata alias Joyo’s Camp, Wanasasi Pramita Ananta atau Bobby’s Camp, Wana Wisata Alam Hayati (WWAH) alias Raymond’s Camp, dan Kenari Wisata alias Tiger’s Camp. ”Kontrak mereka 20 tahun untuk kawasan antara 2 hektar sampai 5 hektar. Kalau mereka melanggar, seperti salah satu resor, ya langsung dicabut. Tapi ini urusan orang atas, Mas,” kata salah satu petugas lapangan.
Masalah kedua, Luc dan Ellie adalah backpacker, pelancong miskin yang langsung mundur begitu ditodong tarif cottage Raymond’s Camp alias WWAH 45 dollar AS per malam. ”Itu terlalu mahal. Itu untuk orang kaya,” begitu gerutu Luc.
Masalah ketiga: inilah kontradiksinya: sedikitnya 40 goa karst di Alas Purwo ini adalah kawasan sakral, lahan untuk bersemadi bagi pencinta selancar batin sejak zaman Majapahit. Nanang, anggota staf taman nasional itu, menyebut goa-goa tersebut adalah tempat bertapa para ”peselancar batin”.
”Kebetulan yang banyak orang Jawa dan orang lokal, Mas,” kata Nanang sambil menyebutkan sejumlah nama pejabat dan tokoh masyarakat yang ternyata pernah bertapa, antara lain di Goa Mangreng, Padepokan, Basori, Mayangkara, Istana, dan Goa Haji.
Karena biaya menginap tak terjangkau itulah Luc dan Ellie duduk muram di karang pantai, beberapa meter dari cottage WWAH tadi. Di belakang mereka, beberapa orang dari WWAH menjual hotdog dan roti bakar lengkap dengan pemanggang listriknya di sana. Mereka juga menyediakan bir.
Luc hanya mengelus-elus kaki istrinya yang bentol di mana-mana karena gigitan nyamuk. ”Saya ini pelukis dan pematung. Saya hanya ingin eksplor, eksplor mencari tempat-tempat sunyi dan liar,” kata Luc yang kumisnya mengingatkan pada tokoh perompak mbeling Johnny Depp dalam Pirates of The Caribbean.
Setiba dari Bali, Luc dan Ellie sudah menginap di Alas Purwo, benar-benar tidur di alam terbuka, pinggir hutan yang berbatas laut, hanya mengandalkan sleeping bag. Pasangan suami-istri belia itu tidur di Pantai Triangulasi, tak jauh dari Pos Pancur. Di sekitar mereka berwisata ”ala Tarzan” itu, puluhan turis asing yang berduit minum bir dan bercengkerama menunggu gelombang pasang.
”Oke, oke. Kami ikut balik saja ke Pos Pancur. Kami bisa diantar ke goa-goa tempat bertapa? Kami mungkin akan tidur di sana,” kata Luc dan Ellie.
”Baik, malam ini saya akan cerita tentang goa-goa dan para pertapa itu. Silakan ke warung dulu,” kata Nanang menghibur Luc dan Ellie yang gagal menikmati ombak Plengkung seperti turis bule lain.…

Sumber : http://liburan.info/content/view/1173/43/lang,indonesian/

Alas Purwo, Banyuwangi

•March 22, 2011 • Leave a Comment
Alas Purwo is the most eastern National Park of Java. There is a good beach for surfing named Plengkung
G-Land, Taman Nasional Alas Purwo
G-Land, The Seven Giant Wave Wonder, ikon yang diberikan peselancar asing untuk gulungan ombak disebuah pantai di dalam Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Banyuwangi, Jawa Timur. Lokasinya ideal, karena berada diujung selatan, sekaligus paling timur dari daratan Pulau Jawa. Letaknya strategis untuk berselancar, karena menjorok tegak, seolah memandang garis pantai pulau Jawa dari arah lautan lepas.
G-Land punya tiga konotasi yang berbeda: “Green”, karena lokasinya di tepi hutan primer yang masih bagus. “Great”, karena salah satu ombak yang terbaik di dunia untuk selancar dan “Grajagan”, sebuah nama pelabuhan nelayan terdekat, tempat menyeberang kesana sebelum ada jalan yang melintas di hutan TNAP. Apapun artinya, itulah julukan yang diberikan untuk sebuah nama lokal bernama Plengkung.
Ombak di Plengkung merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Ombak setinggi 4-6 meter sepanjang 2km dlm formasi 7 gelombang bersusun “go to left” cocok ditunggangi oleh peselancar kidal. Selain Plengkung untuk peselancar prof, ada juga Pantai Batu Lawang untuk pemula. Ombak disini dikenal “dua puluh dua puluh” yang artinya dua puluh menit mendayung ketengah dan dua puluh menit menikmati titian ombak.
TNAP selain surganya peselancar, juga tempat yang cocok untuk berpetualang menembus hutan, mengamati satwa di padang terbuka dan berkunjung ke gua2 mistis. Entah kenapa, TNAP juga tempat yang paling banyak dikunjungi untuk tujuan meditasi dari berbagai latar belakang etnis dan religius dari seluruh Indonesia. Beberapa orang bahkan telah bertahan 3 tahun bermeditasi dihutan dan gua. Menarik berbincang, bertukar pikir dengan mereka, tentang perspective alam semesta, arti kehidupan dan tujuan sebenarnya dari hidup ini.
Gua2 meditasi yang dimaksud adalah Gua Istana, Gua Putri dan Gua Padepokan, selain Gua Macan yang konon punya nilai mistis tinggi. Gua ini dicapai dari Pos Pancur sejauh 2 km berjalan kaki. Tak jauh dari Rawabendo, terdapat Pura Tua bernama Giri Seloka yang sudah ada disana jauh sebelum TNAP ada. Menurut catatan buku tamu di Pos Rawabendo, sebagian dari pengunjung TNAP adalah tamu ibadah menuju ke Pura ini. Hari teramai di TNAP adalah hari Pager Wesi, hari suci penuh upacara seperti halnya Kesodo di Bromo-Tengger.
Di TNAP terdapat padang Sadengan, tempat dimana sekitar 200-an ekor banteng, rusa dan merak tinggal. Lokasi ini tak jauh dari pintu masuk Rawabendo, melalui 3 km jalan makadam dengan pemandangan hutan jati tua dengan status dihutankan. Terdapat juga pantai Ngagel, tempat penangkaran penyu belimbing, abu2 dan hijau. Lokasi ini hanya berjarak 3 km dari Rawabendo melalui jalan makadam dan pasir pantai.
TNAP memiliki banyak pantai bagus, bebas dari hiruk pikuk turis kota. Kegiatan komersial yang berarti hanya di Plengkung, dikelola oleh dua atau tiga operator swasta sebagai resort khusus kaum peselancar. Disini, nyaris seluruh tamunya adalah pengunjung Mancanegara, terutama dari Australia. Penginapan dan kehidupan yang ditawarkan sangat membumi, menyatu dengan setting alam TNAP. Cottage atau kamar mungil yang disewakan menggunakan bahan alami, spt. kayu, bambu dan ijuk dengan penerangan lampu minyak tanah. Beberapa bahkan cukup unik, dengan ruang tidur berupa gerobak sapi tempo dulu. Namun demikian, biayanya cukup mahal, sampai ratusan US dollar dalam satu paket: beberapa hari bermalam, sewa peralatan selancar, makan dan biaya transfer dari/ ke Denpasar.
Terdapat juga pantai Trianggulasi, pantai pasir putih dengan pemondokan yang dikelola langsung pihak TNAP dengan biaya yang lebih terjangkau. Pantai Gotri dengan bulir pasirnya yang berbentuk bulat besar2 dan sangat ringan, sehingga terasa sulit berjalan. Selain itu ada lagi Pantai Parang Ireng dengan pasirnya yang hitam legam. Di tepi pantai antara Pancur dan Plengkung terdapat deretan pohon2 sawo kecik raksasa yang tumbuh berjajar. Buah sawo kecik hutan dengan kulitnya yang berwarna merah memiliki rasa manis, buahnya berserakan dipantai.
Hutan TNAP dapat dicapai melalui kota Banyuwangi terus ke Muncar atau melalui Benculuk dengan tujuan akhir Pasar Anyar. Dari sini kita meninggalkan perkampungan, menuju hutan terisolasi di ujung Blambangan, melalui 10 km jalan makadam menuju pintu utama Taman Nasional di Rowobendo. Pendaftaran langsung dapat dilakukan disini. Dari Rowobendo, 3km jalan makadam menuju Pancur, sebuah pos TNAP ditepi pantai. Dari Pancur, jalan bercabang2 menuju Sadengan, pantai Ngagel atau terus ke selatan menuju Plengkung. Walaupun didalam hutan, penunjuk arah cukup jelas, dan kecil kemungkinan tersasar, walaupun tanpa panduan. Jika anda membutuhkan panduan, Jagawana atau asisten Jagawana yang ramah siap membantu.
Jalan dari Pancur ke Plengkung sejauh 6km adalah jalan aspal yang masih baru, dengan sebagian kecil saja yang masih belum selesai. Jalan ini sempat dipertanyakan keberadaannya oleh LSM, antara sasaran eko-turisme di satu pihak dan pelestarian hutan konservatif disisi lain. Apapun pendapatnya, banyak orang sepakat menilai bahwa TNAP termasuk salah satu taman nasional yang paling berhasil dan paling terbebas dari penyusupan / penebangan liar yang sedang marak di hampir diseluruh taman nasional Indonesia.
Lokasi pantai2 di TNAP dpt dicapai dlm hitungan sebentar dari Pancur. Khusus Plengkung, kendaraan pribadi hanya boleh diparkir di pos Pancur. Dari sini, diteruskan dengan 3 cara: berjalan kaki selama 1.5 jam, diantar jagawana TNAP naik motor trail, atau menggunakan angkutan khusus TNAP.
Apapun cara dan tujuannya, TNAP adalah taman nasional unik yang patut dikunjungi karena memiliki daya tarik keindahan pantai, punya misteri, tetapi mudah dicapai. Jika anda liburan menuju Bali, mampirlah barang sejenak, dibutuhkan hanya 2 jam dari penyeberangan Ketapang. Kami yakin anda akan menemukan pengalaman baru disini. Tidak banyak orang Indonesia yg pernah datang kesini. Saya sendiri, cukup beruntung pernah menyaksikan keindahan pantai dan kesunyian hutan di Taman Nasional Alas Purwo ini.

Sumber : http://www.pbase.com/archiaston/alas_purwo


Ekspedisi Taman Nasional Alas Purwo

•March 22, 2011 • Leave a Comment
Ekspedisi 11-16 Desember 2006 (…1)
Sore itu, hari minggu tim ekspedisi mulai bergerak dari Yogyakarta ke Banyuwangi. Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan karena perjalanannya minimal 14 jam dari Yogya. Walau begitu toh akhirnya sampai juga di Banyuwangi walo pegal dan lelah menggelayuti . Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah satu taman nasional yang dikelola oleh Departemen Kehutanan RI.
Ada apa di Taman Nasional Alas Purwo (TN-AP)
Sebagai taman nasional berarti kondisi alaminya masih dijaga keasliannya (flora dan faunanya). Keberadaan satwa di dalamnya dapat hidup secara bebas karena mereka hidup dihabitat aslinya. satwa apa saja yang ditemui? ada bantengm rusa, merak, lutung, babi rusa, monyet, rangkong, kalong, kelelawar, dan masih banyak deh, so kegiatan ini antara lain ya untuk mengetahui keberadaan kondisi alami hutan , jenis-jenis vegetasi yang hidup secara alami disana, hewan-hewan yang ditemui didaerah itu dan juga beberapa bentukan goa di perbukitan jarst. Maklum saja mayoritas TN AP adalah bentukan karst sehingga banyak sekali dijumpai goa-goa. Hampir semua goa yang ditemui sudah mempunyai nama dan berpenghuni. Tidak sedikit orang (penghuni ) hanya bermalam di goa-goa tersebut untuk menyepi. Kebayang deh betapa sepinya kondisi di hutan yang alami tersebut dari deru dan bisingnya kendaraan, paling-paling hanya suara binatang malam yang berkeliaran. Dari cerita sejarah, Alas purwo merupakan salah satu tempat berlindungnya beberapa orang yang lari dari kerajaan Majapahit, sehingga disana juga ditemui Pura luhur Girisaloka, Makam Mbah dowo (manusia dengan panjang 4meteran) yang konon (berdasarkan cerita masyarakat setempat) masih ada manusia dengan tinggi tersebut karena pernah ditemui jejak kaki manusia yang cukup besar dan masyarakat yang diajak barter.

Sekarang ini TNAP telah menjadi tempat lelono (orang menyepi) , wisata dan penelitian Disana terdapat tempat pengembang biakan penyu (Tukik), pengamatan satwa (sadengan), plengkung (selancar), dan masih banyak lagi. Ekspedisi dimulai dari Pancur, terus naik menuju Goa Istana. berhenti sebentar untuk pengamatan vegetasi dan pengukuran yang lain, begitulah aktivitas dari hari ke hari selam ekspedisi singkat ini.

http://adiwidagdo.blogsome.com/2006/12/26/ekspedisi-taman-nasional-alas-purwo/

Taman Nasional Alas Purwo Menjadi Tempat Pelatihan Internasional ATBC

•March 22, 2011 • Leave a Comment
TN. Alas Purwo sudah sering dijadikan tempat untuk kegiatan pelatihan, kali ini pelatihan selama 20 hari (25 Juli – 13 Agustus) diselenggarakan oleh Universitas Indonesia bekerjasama dengan ATBC (Association for Tropical Biology and Conservation) Asia-Pacific dengan peserta sebanyak 31 orang terdiri dari 10 staf pengajar dan 21 orang peserta yang berasal dari Inggris, Indonesia, Belanda, China, Amerika Serikat, Srilangka, Bangladesh, Benin, Philipina, Thailand, Laos, Nepal, Taiwan dan Myanmar. ATBC adalah perhimpunan yang dibentuk pada tahun 1963 dengan misi memberdayakan riset serta memfasilitasi pertukaran pemikiran di bidang biologi dan lingkungan tropika.

Sumber : http://tnalaspurwo.org/index.php/webpage/detail/0/53

Alas Purwo, antara mistis dan keindahan

•March 22, 2011 • Leave a Comment
“Ayoo, cepet.. keburu telat nih.. udah jam 6 pagi,, “, aku berkata dalam hatiku kepada si sopir kendaraan. Maklum, waktu itu aku masih kelas 2 smp, nah malemnya abis nonton wayang kulit yang didalangi ki mantheb sudarsono. Tau nonton dimana? ditengah alas purwo, daerah yang dikenal angker. Hampir setiap satu syuro, ki mantheb selalu mengadakan pagelaran disana, dan diselenggarakan dengan gratis tis tis…
Btw, ngomong ngomong soal alas purwo, masyarakat di sekitarku, mengenal daerah itu adalah daerah mistis, daerah yang angker, konon menurut ki badranaya, tetanggaku yang udah sepuh, ada gunung yang hanya tampak oleh orang orang tertentu, dan gunung itu di lingkari oleh ular berkepala manusia mengenakan mahkota. Dan juga menurutnya, ada salah satu pangeran kerajaan mataram yogya, yang berdiam disitu,,,
well, itulah bagian2 mistis dari alas purwo. Namun setelah beberapa tahun tidak kesana, akhirnya kesana juga pas kelas 1 sma. Dan akan saya ulas, ternyata alas purwo merupakan tempat yang sangat indah. Berikut ulasannya

Alas Purwo National Park

Wild life reserve at the Blambangan Peninsula is also known as “Alas Purwo”. Alas means forest or jungle and purwo is the beginning of everything. The width of Alas Purwo is 42 hectares square which is completed by many kind of wild animals, especially the species of banteng (Bos javanicus), deer, pics, andpeacocks. There are many caves in the forest which are blanketed by many kinds of plantations.
The visitors can meet many Javanese Bull here, especially in the dry season where many bulls are wandering outside the park to get into water sources. Some other endangered animals are also pretected here, they are: Cuon alpinus, Muntiacus muntjak, Cervus timorensis, Presbytis cristata, Pavo muticus, Gallus sp., Olive ridely turtle, Dermochelys coriacea, Eretmochelys imbricata and Chelonia mydas.
Beside its fauna, Alas Purwo also protectect some endangered flora, such as; Terminalia catappa, Calophyllum inophyllum, Sterculia foetida, Baringtonia asiatica and Manikara kauki.
Wanna see much detail about Alas Purwo collections? Like to have adventurous travel?
Visit Alas Purwo National Park in Banyuwangi.

Paparan pemda
Taman Nasional Alas Purwo merupakan salah perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa.
Tumbuhan khas dan endemij pada taman nasional ini yaitu sawo kecik (Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Tumbuhan lainnya adalah ketapang (Terminalia cattapa), nyamplung (Calophyllum inophyllum), kepuh (Sterculia foetida), keben (Barringtonia asiatica), dan 13 jenis bambu.
Taman Nasional Alas Purwo merupakan habitat dari beberapa satwa liar seperti lutung budeng (Trachypithecus auratus auratus), banteng (Bos javanicus javanicus), ajag (Cuon alpinus javanicus), burung merak (Pavo muticus), ayam hutan (Gallus gallus), rusa (Cervus timorensis russa), macan tutul (Panthera pardus melas), dan kucing bakau (Prionailurus bengalensis javanensis). Satwa langka dan dilindungi seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas) biasanya sering mendarat di pantai Selatan taman nasional ini pada bulan Januari s/d September
Pada periode bulan Oktober-Desember di Segoro Anakan dapat dilihat sekitar 16 jenis burung migran dari Australia diantaranya cekakak suci (Halcyon chloris/ Todirhampus sanctus), burung kirik-kirik laut (Merops philippinus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan trinil semak (Tringa glareola).  Plengkung yang berada di sebelah Selatan Taman Nasional Alas Purwo telah dikenal oleh para perselancar tingkat dunia dengan sebutan G-Land. Sebutan G-land dapat diartikan, karena letak olahraga selancar air tersebut berada di Teluk Grajagan yang menyerupai huruf G. Ataupun letak Plengkung berada tidak jauh dari hamparan hutan hujan tropis yang terlihat selalu hijau (green-land). Plengkung termasuk empat lokasi terbaik di dunia untuk kegiatan berselancar dan dapat disejajarkan dengan lokasi surfing di Hawai, Australia, dan Afrika Selatan.
Menyelusuri pantai pasir putih dari Trianggulasi ke Plengkung akan menemukan daerah pasir gotri. Pasir tersebut bewarna kuning, berbentuk bulat dan berdiameter sekitar 2,5 mm.
Masyarakat sekitar taman nasional sarat dan kental dengan warna budaya “Blambangan”. Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram, dan meyakini bahwa di hutan taman nasional masih tersimpan Keris Pusaka Sumelang Gandring.
Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila banyak orang-orang yang melakukan semedhi maupun mengadakan upacara religius di Goa Padepokan dan Goa Istana. Di sekitar pintu masuk taman nasional (Rowobendo) terdapat peninggalan sejarah berupa “Pura Agung” yang menjadi tempat upacara umat Hindu yaitu Pagerwesi. Upacara tersebut diadakan setiap jangka waktu 210 hari.
Taman nasional ini memiliki ragam obyek dan daya tarik wisata alam dan wisata budaya (sea, sand, sun, forest, wild animal, sport and culture) yang letaknya tidak begitu jauh satu sama lain.
Beberapa lokasi/obyek yang menarik untuk dikunjungi:
Sadengan.
Terletak 12 km (30 menit) dari pintu masuk Pasaranyar, merupakan padang pengembalaan satwa seperti banteng, kijang, rusa, kancil, babi hutan dan burung-burung.
Trianggulasi.
Terletak 13 km dari pintu masuk Pasaranyar berupa pantai pasir putih dengan formasi hutan pantai untuk kegiatan wisata bahari dan berkemah.
Pantai Ngagelan.
Terletak 7 km dari Trianggulasi untuk melihat beberapa jenis penyu mendarat untuk bertelur di pantai dan aktivitas penangkaran penyu.
Plengkung.
Melihat perselancar profesional tingkat dunia yang sedang melakukan atraksi dan wisata penelusuran hutan.
Bedul Segoro Anak.
Bersampan, berenang, ski air di danau dan pengamatan burung migran dari Australia.
Goa.
Terdapat 40 buah tempat yang dapat disebut sebagai goa alam dan buatan antara lain Goa Jepang untuk melihat peninggalan dua buah meriam sepanjang 6 meter, Goa Istana, Goa Padepokan dan goa lainnya untuk wisata budaya dan wisata goa.
Just take a look wonderful beach. This is plengkung beach, the second highest wave in the world after hawaii. Wanna surf? here you go…
Demikianlah keindahan alas purwo, tempat yang sangat indah, komplit, antara gunung, pantai, savana, hutan liar, goa, tempat2 mistis, semua ada disini.

Whoilla!!!

No comments:

Post a Comment