Pulau Paskah
Orang yang pertama kali menempati Pulau Paskah adalah keturunan imigran dari Polinesia yang kemungkinan berasal dari Pulau Mangareva atau Pitcairn di sebelah barat. Sejarah pulau ini dapat dihubungkan berkat daftar raja Pulau Paskah yang telah direkonstruksi, lengkap dengan rangkaian peristiwa dan tanggal perkiraan sejak tahun 400.
Penghuni asal Polinesia tersebut membawa sejumlah pisang, talas, ubi manis, tebu, bebesaran kertas ( paper mulberry) dan ayam. Pada suatu masa, pulau ini menopang peradaban yang relatif maju dan kompleks. Ahli navigasi asal Belanda Jakob Roggeveen menemukan Pulau Paskah pada Hari Paskah tahun 1722. Roggeveen memperkirakan sekitar 2.000-3.000 orang menghuni pulau ini, tetapi ternyata jumlah penduduk mencapai 10.000-15.000 jiwa pada abad ke-16 dan 17.
Kawasan Suku Rapanui
Peradaban Pulau Paskah telah merosot secara drastis semenjak 100 tahun sebelum kedatangan Belanda, terutama akibat terlalu padatnya jumlah penduduk, penebangan hutan dan eksploitasi sumber daya alam yang terbatas di pulau yang amat terisolasi ini. Namun, hingga pertengahan abad ke-19, populasi telah bertambah hingga mencapai 4.000 jiwa. Hanya berselang waktu 20 tahun kemudian, deportasi ke Peru dan Chili serta berbagai penyakit yang dibawa oleh orang Barat hampir memusnahkan seluruh populasi, dengan hanya 111 penduduk di pulau ini pada 1877. Pulau ini dianeksasi oleh Chili pada 1888 oleh Policarpo Toro. Jumlah penduduk asli suku Rapanui perlahan-lahan telah bertambah dari rekor terendah berjumlah 111 jiwa.
Perlu diketahui bahwa nama " Rapa Nui" bukan nama asli Pulau Paskah yang diberikan oleh suku Rapanui. Nama itu diciptakan oleh para imigran pekerja dari suku asli Rapa di Kepulauan Bass yang menyamakannya dengan kampung halamannya. Nama yang diberikan suku Rapanui bagi pulau ini adalah Te pito o te henua ("Puser Dunia") karena keterpencilannya, namun sebutan ini juga diambil dari lokasi lain, mungkin dari sebuah bangunan di Marquesas.
Peristiwa-peristiwa baru-baru ini telah menunjukkan peningkatan yang signifikan pada sektor pariwisata, ditambah dengan besarnya jumlah orang yang datang dari daratan Chili sehingga mengancam keidentikan Polinesia di Pulau Paskah. Masalah kepemilikan tanah telah menciptakan ketegangan politik pada 20 tahun terakhir, dengan beberapa suku asli Rapanui menentang properti pribadi melainkan setuju dengan tanah tradisional milik bersama.
Lingkungan hidup
Pulau Paskah yang modern memiliki sedikit pepohonan. Pulau ini dulunya pernah mempunyai hutan pohon palem. Menurut pemikiran populer yang berkembang, para penghuni pertama pulau ini telah mengeksploitasi pepohonan di seluruh pulau untuk membuat tempat moai serta membangun perahu nelayan dan bangunan. Ada bukti yang menunjukkan gundulnya pulau ini bertepatan dengan runtuhnya peradaban Pulau Paskah.
Konteks Midden pada waktu itu menunjukkan penurunan yang mendadak pada jumlah tulang ikan dan burung ketika para penduduk kehilangan akal untuk membangun kapal nelayan dan burung-burung kehilangan tempat sarang. Ayam dan tikus menjadi sarapan utama para manusia. Berdasarkan sisa-sisa manusia, ada bukti bahwa kanibalisme berlangsung.
Kotak Surat Suku Rapanui
Populasi kecil yang masih hidup berhasil mengembangkan tradisi baru untuk membagi-bagikan sumber yang tersisa sedikit. Pada grup pemuja manusia burung (manutara), sebuah pertandingan dibentuk manakala setiap tahunnya sebuah wakil dari setiap suku, yang dipilih oleh pemimpin masing-masing, menyelam ke laut dan berenang menuju Motu Nui, sebuah pulau kecil tetangga, untuk mencari telur pertama yang ditetaskan oleh seekor Sooty Tern pada musim menelur. Perenang pertama yang kembali dengan telur itu dapat mengontrol sumber pulau untuk sukunya selama tahun itu. Tradisi ini masih diterapkan pada saat bangsa Eropa mendarat di pulau ini.
Namun, penelitian baru memunculkan dugaan bahwa keadaan yang sesungguhnya justru lebih kompleks. Luasnya pulau yang dibersihkan dari pepohonan hanyalah salah satu ujung akhir dalam sebuah seri ketidakberuntungan yang dialami Pulau Paskah. Sebuah studi mengenai faktor-faktor lingkungan di 69 pulau-pulau di Pasifik mengatakan bahwa meskipun dipenuhi batu-batu pemujaan, para dewa ternyata marah terhadap pulau ini.
Tempat Persinggahan
Pulau Paskah adalah daratan luas yang tidak subur dan kering. Tanahnya terlalu tandus untuk ditanami pohon-pohon kembali setelah tanaman asli dipanen. Pulau ini tidak mendapat keuntungan dari debu vulkanik yang subur seperti pulau-pulau lain. Jadi, sekali pulau itu dibersihkan, tidak ada harapan untuk pemulihan.
Artefak kebudayaan
Moai
Patung-patung besar dari batu, atau moai, yang menjadi simbol Pulau Paskah dipahat pada masa yang lebih dahulu dari yang diperkirakan. Arkeologis kini memperkirakan pemahatan tersebut berlangsung antara 1600 dan 1730, patung yang terakhir dipahat ketika Jakob Roggeveen menemukan pulau ini. Terdapat lebih dari 600 patung batu monolitis besar (moai). Walaupun bagian yang sering terlihat hanyalah "kepala", moai sebenarnya mempunyai batang tubuh yang lengkap; namun banyak moai yang telah tertimbun hingga lehernya. Kebanyakan dipahat dari batu di Rano Raraku. Tambang di sana sepertinya telah ditinggalkan dengan tiba-tiba, dengan patung-patung setengah jadi yang ditinggalkan di batu.
Kumpulan Patung Moai
Rongorongo
Ada berbagai lembaran (tablet) yang ditemukan di pulau yang berisikan tulisan misterius. Tulisan, yang dikenal dengan Rongorongo, belum dapat diuraikan walaupun berbagai generasi ahli bahasa telah berusaha. Seorang sarjana Hongaria, Wilhelm atau Guillaume de Hevesy, pada 1932 menarik perhatian tentang kesamaan antara beberapa karakter rongorongo Pulau Paskah dan tulisan pra-sejarah Lembah Indus di India, yang menghubungkan lusinan (sedkitnya 40) rongorongo dengan tanda cap dari Mohenjo-daro. Hubungan ini telah diterbitkan kembali di berbagai buku. Arti rongorongo kemungkinan ialah damai-damai, dan tulisannya mungkin mencatat dokumen perjanjian damai, misalnya antara yang bertelinga panjang dan penguasa bertelinga pendek. Namun, penjelasan tersebut masih dalam perdebatan.Jenis - jenis Tulisan Rongorongo :
Tulisan Rongorongo di ukir di Batu
Tulisan Rongorongo di ukir di Kayu
Tulisan Rongorongo di ukir di Daun Pisang
Tulisan Rongorongo [1]
Tulisan Rongorongo [2]
Tulisan Rongorongo [3]
Demografi
Menurut sensus 2002, populasinya berjumlah 3.791 jiwa. Angka ini naik dari 1.936 jiwa pada 1982. Kenaikan populasi yang besar ini terutama disebabkan oleh kedatangan orang-orang keturunan Eropa dari daratan Chili. Akibatnya, pulau ini terancam kehilangan identitas asli Polinesia. Pada 1982, sekitar 70% populasi berupa suku Rapanui (penduduk asli Polinesia). Namun pada sensus 2002, Rapanui hanya mencakup 60% dari populasi Pulau Paskah. Bangsa Chili keturunan Eropa mencakup 39% populasi, dan sisanya 1% adalah etnis Amerika Asli dari daratan Chili. Hampir seluruh populasi tinggal di kota Hanga Roa.
Tinggal pulau tanpa Penghuni
Suku Rapanui telah bermigrasi dari pulau ini. Pada sensus 2002, ada 2.269 Rapanui yang tinggal di pulau ini, sedangkan 2.378 lainnya tinggal di daratan Chili (setengahnya tinggal di daerah metropolitan Santiago).
Kepadatan penduduk Pulau Paskah hanya 23 penduduk per km²; jumlah itu lebih kecil dari masa gemilang pemahatan patung (abad ke-17) ketika antara 10.000 dan 15.000 penduduk asli Rapanui tinggal di pulau.
Populasi telah menurun hingga 2.000-3.000 penduduk sebelum kedatangan bangsa Eropa. Pada abad ke-19, penyakit yang timbul akibat kontak dengan kaum Eropa, serta deportasi 2.000 Rapanui ke Peru sebagai budak, dan keberangkatan paksa sisa suku Rapanui ke Chili menyebabkan kemerosotan populasi Pulau Paskah hingga mencapai rekor terendah 111 penduduk pada 1877. Dari 111 Rapanui, hanya 36 yang mempunyai keturunan, dan mereka adalah nenek moyang seluruh 2.269 penduduk Rapanui sekarang.
No comments:
Post a Comment